JAKARTA (Indikator) – Angka vonis hukuman mati di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup tajam dari tahun sebelumnya, yaitu sebesar 46 persen. Dalam data Amnesty International Indonesia, tahun 2019 jumlah vonis hukuman mati di Indonesia sebanyak 80 vonis dan setahun berikutnya bertambah menjadi 117 vonis.
Menurut Peneliti Amnesty International Indonesia, Ari Pramuditya, peningkatan 46 persen diakibatkan anggapan hukuman mati dapat menimbulkan efek jera. “Anggapan bahwa hukuman mati akan memberikan efek jera ini menjadi penyebab utama peningkatan jumlah vonis hukuman mati yang dijatuhkan. Padahal anggapan itu tanpa didasari kebijakan rasional berbasis bukti,” ujar Ari dalam konferensi pers daring, Rabu (21/4/2021).
Peningkatan tersebut juga dipengaruhi oleh fenomena kebijakan penal populism yang bertujukan meraih simpati masyarakat; serta efek dari termuatnya kasus narkotika sebagai kejahatan luar biasa dalam Pasal 6 ayat (2) Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik, sehingga vonis hukuman mati terhadap kasus narkotika dimaklumi.
Namun meningkatnya vonis hukuman mati di Indonesia ini bertolak belakang dengan tren global dan regional. Jumlah vonis mati sedunia pada tahun 2020 turun sebanyak 36 persen. Di tahun 2020 mencapai angka 1.477, sementara tahun sebelumnya mencapai angka 2.307.
Demikian pula di kawasan Asia-Pasifik. Tren angka vonis mati justru mengalami penurunan sekitar 42 persen menjadi 517 dari 1.227 pada tahun sebelumnya. Vonis mati baru di Indonesia mencapai 22 persen dari total jumlah vonis mati di Asia-Pasifik.
Amnesty International Indonesia mendesak agar pemerintah meresmikan moratorium dan menerapkan komutasi (mengubah hukuman menjadi seumur hidup) bagi terpidana mati dan lembaga negara yang tergabung dalam Mekanisme Pencegahan Nasional Anti Penyiksaan untuk mengaktifkan mekanisme pemantauan terhadap terpidana mati. “Rekomendasi kami juga, agar DPR RI menghapus pidana mati dalam RKUHP dan undang-undang terkait lainnya,” tandas Ari.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Menteri Hukum dan HAM RI Edward Hiariej menyatakan penerapan hukuman mati dalam RKUHP tidak lagi menjadi pidana pokok, melainkan pidana khusus. Sehingga hakim yang akan memutuskan harus benar-benar selektif dan vonis hukuman mati sebagai jalan tengah yang diterapkan dengan percobaan.
“Ketika hakim menjatuhkan pidana mati kepada pelaku kejahatan harus disertai percobaan. Artinya, jika dia berkelakukan baik, maka hukuman mati diubah menjadi pidana seumur hidup atau sementara waktu. Itu formula maksimal yang bisa dicapai tim penyusun RKUHP,” ujarnya dalam kesempatan yang sama.(tirto)